JAS HIJAU

 


“Jangan Sekali-kali Melupakan Jasa Ulama,” alias Jas Hijau, begitu ungkapan Dr. Hidayat Nur Wahid, sebagai “tandingan” Jas Merah-nya Soekarno, “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah.” Jas Hijau ini menjadi penyelimut kehangatan kita menelisik “Perspektif Historis”, perspektif ketiga dari lima, dalam soal mengapa “Politik” itu perlu  diketahui, penting difahami, mutlak dikuasai, dan wajib diimplementasikan.

 Kontribusi umat Islam, yang dimotori Ulama dan Habaib, dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah fakta sejarah yang tak terbantahkan. Berikut untuk menyebut beberapa contoh, perlawanan rakyat yang dipimpin Sultan Hasanuddin (Makassar), Tuanku Imam Bonjol (Sumatera Barat), Pangeran Diponegoro (Jawa), Tjut Nyak Dien (Aceh), Sultan Nuku (Tidore), Teuku Umar (Aceh), Sisingamangaraja IX (Tapanuli), Pattimura (Ahmad Lessi, di Maluku), KH Hasyim As’hari (Pendiri Nahdatul Ulama), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), Bung Tomo, dan lain-lain.

Cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) antara lain berasal dari laskar rakyat yang motor penggeraknya diantaranya Ormas Islam semisal NU dan Muhammadiyah, yaitu Hizbullah, Sabilillah, Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK), Askar Perang Sabil (APS), dan lain-lain. Adalah Sudirman, seorang guru Muhammadiyah, yang menjadi pucuk pimpinan militer Indonesia dalam membendung agresifitas Belanda. Dengan berbekal satu paru, beliau bergerilya dengan ditandu, dalam salah satu episode paling berat anak negeri mempertahankan kemerdekaan. Gelar Panglima Besar dan Jenderal Besar TNI pun tersampir di pundak beliau.

Saat negeri ini di tubir jurang kehancuran, tokoh Islam juga berperan amat signifikan menyelamatkannya. Tanggal 22 Oktober adalah Hari Santri Nasional. Pada tanggal tersebut di tahun 1945, KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan Resolusi Jihad, yakni seruan kepada umat Islam untuk berperang (jihad) melawan tantara Sekutu yang diboncengi Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia.

Pemerintah Darurat Republik Indonesia atau PDRI (Desember 1948 –  Juli 1949) di Sumatera, dinakhodai tokoh Masyumi, Syafruddin Prawiranegara. Beliau  adalah presiden dalam masa darurat setelah Dwitunggal Soekarno – Hatta ditahan di Jogyakarta oleh Belanda. Lantaran jasa beliau, Indonesia kala itu tetap eksis di mata internasional saat kolonialis Belanda getol mengkampanyekan Indonesia telah bubar. Kini, setiap tanggal 19 Desember kita memperingatinya sebagai Hari Bela Negara.

Lalu berkat Mosi Integral dari M. Natsir (Ketua Masyumi) pada tanggal 3 April 1950, Republik Indonesia Serikat (RIS) dikubur. Di atas puing  reruntuhannya, tujuh negara bagian dan sembilan satuan kenegaraan yang tadinya berhimpun di dalam RIS, bermufakat untuk kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mosi Integral itu pulalah yang mengantarkan M. Natsir dipercaya menduduki jabatan Perdana Menteri masa bakti 6 September 1950 hingga 27 April 1951. Tanggal 3 April ini kemudian oleh sejumlah Ormas dan tokoh Islam mendesak pemerintah agar dijadikan sebagai Hari NKRI.

Dalam buku Ketuhanan Y.M.E dan Lahirnya Pancasila, karya Haji Agus Salim dan Mohamad Roem, Penerbit Bulan Bintang (1977) diungkap asal muasal satu kalimat yang terpatri dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945, “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, …”

Kalimat itu adalah pertautan antara rahmat dari Allah SWT dengan ikhtiar manusia. Antara kalimat Laa haula walaquwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim (Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung) dengan penggalan ayat 11 Surah Ar-Ra’d, Innallaha la yughayyiru maa biqaumin hatta yughoyyiru ma bi anfusihim (Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Siapa pencetusnya? H. Agus Salim, salah seorang tokoh Islam yang tergabung ke dalam Panitia Sembilan, sebuah kelompok kerja  berisi 9 tokoh bangsa yang diamanahi memproses kemerdekaan Indonesia.

Pancasila dalam versi Piagam Jakarta, yang sila pertamanya ada tujuh kata setelah Ketuhanan, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah kontribusi tokoh Islam. Sekaligus pada akhirnya menunjukkan kebesaran hati mereka ketika menerima sila pertama yang kita kenal sekarang, Ketuhanan yang Maha Esa. Namun pengorbanan melepaskan term Syariat itu (tujuh kata), adalah semacam blessing in disguise, dengan diterimanya konsepsi Tauhid. Bukankah Ketuhanan yang Maha Esa itu adalah Laa ilaha illallah?

Salah satu buku paling otoritatif yang membedah peran sejarah umat Islam adalah dua jilid buku bertajuk  Api Sejarah, karya sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara. “Buku ini,” tulis Dr. Hidayat Nur Wahid pada sampul muka buku pertamanya, terbitan tahun 2009, “sungguh kaya dengan bukti-bukti kesejarahan tentang peran aktif Ulama dan Santri dalam menegakkan NKRI.”

Lalu tetiba umat dipojokkan oleh pihak tertentu yang mengaku-aku paling Pancasilais, dengan  menghusung narasi intoleransi, radikalisme, beberapa tahun belakangan ini.

Pertanyaan sederhananya adalah apakah tudingan itu berlandaskan pada kondisi obyektif? Lebih jauh lagi, apakah by design dengan target meremukkan kohesi sosial, mencabik rekatan kehidupan bermasyarakat? Ataukah karena ketidakmampuan dalam mengemban tujuan  berbangsa dan bernegara, seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, sehingga harus mencari kambing hitam? Yakni umat yang memang sejumlah tokohnya bersikap kritis dan bersuara lantang menolak kezaliman, memperjuangkan keadilan.

Dialog yang melibatkan antara lain Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo dalam roman sejarah bertajuk Sang Pangeran dan Janissary Terakhir: Kisah, Kasih, dan Selisih dalam Perang Diponegoro, karya Salim Fillah (2019) berikut ini sudah cukup menunjukkan potret apa, siapa, dan dimana positioning umat Islam dalam pentas politik nasional, dulu, sekarang, dan nanti:

“Mereka memang luar biasa. Dan kita sulit membayangkan apa jadinya negeri ini tanpa Islam. Sebab, hanya Islam yang bisa membangun kesadaran untuk bangkit melawan para penjajah yang kafir, serakah, dan sewenang-wenang ini. Hanya Islam yang bisa membuat suatu kaum bangkit berjihad demi membela agama, bangsa, dan tanah airnya.”

Kamarudin, founder AKSES School of Research


https://pks.id/content/jas-hijau

Lebih baru Lebih lama