PKSPemalang, Nasional – Undang-undang Terorisme perlu direvisi. Sejumlah masukan seperti perbaikan fasilitas lembaga
intelijen, penguatan lembaga deradikalisasi teroris, memahami penyebab
terorisme serta perlakuan teroris sesuai Hak Azasi Manusia (HAM) perlu dimasukan. Hal ini seperti disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil.
“Terorisme di Indonesia sudah mulai terbuka. Gerakannya,
propaganda di media online, bahkan aksinya juga terbuka, walaupun ada pendapat
masyarakat bahwa aksi terorisme terakhir menunjukkan seolah-olah tidak
profesional,” ungkap Wakil Rakyat dari Aceh tersebut seperti dikutip dari laman pks.or.id.
Fokus pertama dalam revisi UU Terorisme, menurut Nasir,
terletak pada penguatan lembaga pencegahan terorisme.
“Pemerintah perlu melihat institusi yang bertugas ke
institusi pencegahan terorisme. Harus dievaluasi, kecolongan teror di Indonesia
itu karena lemahnya inteligen atau karena sarana-sarana yang dimiliki inteligen
itu lemah,” ungkap Nasir di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Nasir juga melihat Pemerintah perlu memberi akses bagi
Divisi Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk
dapat masuk ke tahanan (sebelum pengadilan) agar dapat mencegah tersangka
menjadi teroris kembali setelah dipidana.
“Ada beberapa pelaku teror pernah menjadi narapidana.
Harusnya deradikalisasi itu di awal, bukan setelah mendapat hukuman yang in
kracht (berkekuatan tetap). Ketika tersangka masih menjadi belum menjadi
narapidana, Diputi Deradikalisasi perlu masuk ke tahanan. Bukan, sebaliknya
diperlakukan secara tidak manusiawi,” ungkap Nasir.
Terkait dengan langkah pencegahan lanjutan, Nasir juga
menyarankan perlunya pemerintah melihat kondisi-kondisi seperti apa yang
menyuburkan terorisme di Indonesia.
“Biasanya terorisme tumbuh di tengah masyarakat yang
mendapat tekanan politik yang keras, mendapatkan pembangunan ekonomi yang tidak
merata, dan juga mengalami kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin.
Mereka melawan negara dengan terorisme. Itu harus dievaluasi. Pemerintah harus
hadir di tengah masyarakat,” ungkap Nasir.
Nasir tidak menyarankan Pemerintah untuk memunculkan
peraturan presiden pengganti undang-undang (Perppu), karena banyak
lembaga-lembaga terkait terorisme, mencakup Polisi, TNI, dan BNPT yang perlu
sinergi.
“Dengan perppu, dikhawatirkan menimbulkan masalah baru
terkait koordinasi antarlembaga. Ada kebiasaan di negeri ini, akan ada pihak
yang berkepentingan yang melobi presiden, sehingga memunculkan kecemburuan di
antara lembaga. Rivalitas, dalam tanda kutip, dalam menjalankan fungsi
intelijen itu perlu dievaluasi,” ungkap Nasir.
Nasir juga memperhatikan revisi Undang-undang perlu
memperhatikan hak azasi manusia.